Tuntunan Agama Islam
Bolehkah Perempuan Haid Memegang & Membaca Al Qur-an?
Tuntunan Agama Islam - Sering kali orang melarang perempuan
yang sedang haid atau laki-laki yang sedang junub untuk memegang kitab suci Al
Quran. Untuk menjawab pertanyaan atau pendapat ini akan diberikan gambaran
sebagai berikut :
Al-Imâm
Al-Bukhârî telah membahas masalah boleh atau tidaknya wanita
haid memegang atau membaca Al Quran ini dalam kitab "Shahîhnya", beliau berkata :
وَ قَالَ
إِبْرَاهِيْمَ: لاَ بَأْسَ أَنْ تَقْرَأَ اْلآيَةَ
Artinya
:
Telah berkata Ibrâhîm:
"Tidak mengapa jika ia (perempuan haidh) membaca ayat-ayat (Al-Qur-ân)".
Kemudian
beliau berkata lagi:
وَ لَمْ يَرَ ابْنُ
عَبَّاسٍ بِالْقِرَأَةِ لِلْجُنُبِ بَأْسًا
Artinya
:
"Ibnu 'Abbâs tidak melihat (berpendapat)
orang junub terlarang untuk membaca Al-Qur-ân".
Maksudnya: Ibnu 'Abbâs berpendapat bahwa orang yang dalam keadaan junub
boleh membaca Al-Qur-ân. Orang
junub ialah orang (laki-laki) yang dalam keadaan tidak suci, seperti sehabis
melakukan hubungan suami isteri dan belum mandi wajib. Termasuk juga perempuan
yang sedang haidh. Dengan kata-lain, perempuan yang sedang haidh boleh juga
membaca Al-Qur-ân.
Lalu Al-Imâm Al-Bukhârî
menuqilkan sebuah hadits dari Â-isyah
Ummul-Mu'minîn yang
berbunyi:
وَ كَانَ النَّبِيُّ -
ص - يَذْكُرُ اللَّهَ فِي كُلِّ أَحْيَاَنِهِ
Artinya
:
"Adalah Nabi saw. senantiasa
berdzikir kepada Allâh di dalam
segala keadaan".
Maksud hadits ini menurut para pakar
atau ahli hadits ialah : Dalam keadaan suci atau junub, Nabi saw. selalu
berdzikir kepada Allâh. Dan
membaca Al-Qur-ân termasuk
bagian dari berdzikir kepada Allâh.
Al-Imâm
Ibnu Hajar (rahimahullâh) telah
memberi komentar yang baik sekali mengenai hal ini, beliau berkata :
وَ لِهَذَا تَمَسَّكَ
الْبُخَارِيُّ وَ مَنْ قَالَ بِالْجَوَازِ غَيْرِهِ كَالطَّبَرِيِّ وَ ابْنِ
الْمُنْذِرِ وَ دَاوُدَ بِعُمُوْمِ
حَدِيْثِ كَانَ يَذْكُرُ اللَّهَ
عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ ، لأَنَّ الذِّكْرَ أَعَمَّ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ
بِالْقُرْآ نِ أَوْ بِغَيْرِهِ ،
Artinya
:
Dan kepada hadits -- Â-isyah -- ini Al-Bukhârî
berpegang, dan juga orang-orang selain beliau, seperti Ath-Thabârî,
Ibnul-Mundzir dan Dâwûd untuk menetapkankan bolehnya --
perempuan haidh membaca Al-Qur-ân --,
karena sangat umumnya hadits -- Â-isyah --
yang berbunyi: "Adalah Nabi saw. senantiasa berdzikir kepada Allâh di dalam segala keadaan",
karena kata "Dzikir" lebih luas daripada sekedar membaca Al-Qur-ân atau selain Al-Qur-ân".
(Lihat
Fathul-Bârî juz I hal. 407 - 408)
Al-Imâm
Ibnu Hajar juga menjelaskan, bahwasanya memang ada beberapa hadits yang
melarang perempuan haidh membaca atau bahkan memegang Al-Qur-ân, akan tetapi semua hadits tersebut dianggap tidak
shah oleh Al-Bukhârî.
(Lihat
Fathul-Bârî juz I hal. 408)
Berdasarkan keterangan ini, jelaslah
bahwa wanita haidh boleh atau tidak terlarang untuk memegang dan membaca
Al-Qur-ân.
Komentar
Posting Komentar