Tuntunan Agama Islam
Bolehkah Mewakilkan Ibadah Haji / Badal Haji?
Tuntunan Agama Islam - Badal Haji artinya mewakili orang
lain dalam menunaikan ‘ibadah haji, adalah masalah yang sampai sekarang
menimbulkan kontroversial. Oleh karena itu, dalam tulisan ringkas ini kita
mencoba menjernihkan masalah tersebut dan kami berharap penjelasan ini bisa
mendatangkan mashlahat bagi semua pihak khususnya yang saling berbeda pendapat
dalam masalah ini. Sebetulnya terdapat beberapa hadits yang menyebutkan hal
ini, di antaranya dari Ibnu 'Abbâs (radhiyallâhu
'anhumâ):
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ
جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ ( ص ) فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ
تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ , أَفَأَحُجُّ عَنْهَا ؟ قَالَ
: نَعَمْ حُجِّي عَنْهَاأَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضَيَتَهُ ؟
أُقْضُوا اللَّهَ, فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
Artinya
:
Sesungguhnya seorang wanita dari
Juhainah telah datang kepada Nabi saw., dan bertanya: "Sesungguhnya ibu-ku
telah bernadzar untuk berhaji, namun ia meninggal dunia sebelum berhaji. Apakah
boleh aku -- menggantikan -- berhaji darinya?". Nabi menjawab:
"Hajikanlah. Bukankah kalau ibu-mu berhutang engkau harus membayarnya?
Bayarlah, karena haq Allâh itu
lebih patut dibayar".
(H.R.
Al-Bukhârî lihat Fathul-Bârî juz IV hal.64)
Dari Ibnu
'Abbâs (radhiyallâhu 'anhumâ):
كَانَ الْفَضْلُ
رَدِيْفَ النَّبِيِّ ( ص ) فَجَاءَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثَعَمِ فَجَعَلَ
الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَ تَنْظُرُ
إِلَيْهِ , فَجَعَلَ النَّبِيُّ ( ص ) يَصْرِفُ وَ جْهَ الْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ
اْلآخَرِ , فَقَالَتْ: إِنَّ فَرِيْضَة اللَّهِ أَدْرَكَتْ أَِبِي شَيْخًا
كَبِيْرًا لاَ يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ ، أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ: نعم وَ ذَلِكَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ
Artinya
:
Adalah Al-Fadhl dibonceng Nabi
saw.; maka datang seorang wanita dari Khatsa'am, Al-Fadhl pun melihat wanita
itu, dan wanita itu pun melihat Al-Fadhl, maka Nabi saw. memalingkan wajah
Al-Fadhl kearah lain. Wanita itu berkata : "Sesungguhnya kewajiban Allâh telah datang kepada ayah-ku yang
sudah sangat tua, dan tidak mampu lagi naik kendaraan. Apakah aku boleh
menghajikannya?". Nabi saw. menjawab: "Ya (boleh)". Peristiwa
itu terjadi pada Haji Al-Wadâ'.
(H.R.
Al-Bukhârî lihat Fathul-Bârî juz III hal. 378 dan juz IV hal.67)
Kedua hadits ini menunjukkan
bolehnya seorang anak menghajikan atau melakukan badal haji bagi orang-tuanya
yang sudah tidak mampu lagi menunaikan 'ibadah haji atau yang telah wafat.
Al-Imâm Ibnu Hajar berkata :
وَ فِي هَذَا
الْحَدِيْثِ مِنَ الْفَوَائِدِ جَوَازِ الْحَجِّ عَنِ الْغَيْرِ وَ اسَتَدَلَّ
الْكُوْفِيُّوْنَ بِعُمُوْمِهِ عَلَى
جَوَازِ صِحَّةِ حَجِّ مَنْ لَمْ يَحُجُّ نِيَابَةً عَنْ غَيْرِهِ و خَالَفَهُمُ
الْجُمْهُوْرُ فَخَصُّوْهُ بِمَنْ حَجَّ
عَنْ نَفْسِهِ
Artinya
:
"Hadits ini mengandung faedah
(kesimpulan) bolehnya menghajikan orang lain -- dalam hal ini orang-tua --;
Adapun orang-orang Kuffah berpendapat dengan keumuman hadits ini, bahwa orang
yang belum menunaikan haji pun boleh dan shah menghajikan orang lain. Pendapat
ini bertentangan dengan jumhur (mayoritas) yang mengkhususkan -- badal itu
hanya boleh dilakukan -- oleh seorang yang sudah menunaikan ibadah haji".
(Fathul-Bârî juz IV
hal.69)
Seperti telah disebutkan sebelumnya,
bahwa menghajikan orang-lain atau badal haji merupakan masalah yang menimbulkan
perbedaan pendapat (khilâfiyah) di
kalangan para 'ulamâ'; ada 4
(empat) pendapat yang berbeda dalam masalah ini.
Pendapat
pertama: Menolak sama-sekali karena menganggap perbuatan ini
bertentangan dengan Al-Qur-ân surah
An-Najm (53):39:
وَ أَنْ لَيْسَ
لِلإِْنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
Artinya
:
"Dan bahwasanya manusia tidak
akan dapat (ganjaran) melainkan dari apa yang ia telah usahakan".
Al-Imâm
Ibnu Hajar telah menuqilkan dari Sa'îd
bin Manshûr dan
beberapa 'ulamâ'
selainnya dengan sanad yang shahîh,
bahwa Ibnu 'Umar berkata :
لاَََ يَحُجُّ أَحَدٌ
عَنْ أَحَدٍ , وَ نَحْوِهِ عَنْ مَالِكٍ وَ اللَّيْثِ
Artinya
:
"Tidak boleh bagi seseorang
untuk menghajikan orang lain, begitu-pula pendapat dari Mâlik dan Al-Laits".
(Fathul-Bârî juz IV
hal.66)
Pendapat
kedua: Boleh secara mutlak, berdasarkan hadits-hadits ini,
bahkan boleh dilakukan oleh siapa-saja bagi siapa saja, tanpa syarat. Ini
pendapat orang-orang Kuffah seperti yang disebutkan sebelumnya.
Pendapat
ketiga: Hanya boleh dilakukan oleh anak terhadap ayah atau
ibunya. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Imâm
Ibnu Hajar (Fathul-Bârî juz IV hal.70),
sementara
Mâlik berpendapat bahwa -- badal
haji -- itu boleh dilakukan jika ada wasiat dari yang bersangkutan dan jika
tidak, maka tidak boleh dilakukan (Fathul-Bârî juz IV hal.66)
Pendapat
keempat: Hanya boleh dilakukan oleh anak terhadap orang
tuanya, baik melalui wasiat orang tua atau tidak, dengan syarat anak tersebut
telah menunaikan 'ibadah haji sebelumnya. Dan kami lebih cenderung memilih
pendapat ini.
Sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya, bahwa menghajikan orang lain atau badal haji telah menimbulkan perbedaan
pendapat yang cukup tajam, khususnya akhir-akhir ini, bahkan telah menjadikan
perpecahan yang cukup parah di kalangan kaum Muslimîn, saling menghujat, menyerang, memfitnah dan
berbagai perbuatan tercela lainnya yang harusnya tidak boleh terjadi. Karena
masalah-masalah khilâfiyah
semacam ini hanyalah persoalan cabang (furu') yang seharusnya dikembalikan
kepada masing-masing orang untuk menentukan pilihan bagi dirinya tanpa harus
memaksakan pilihan tersebut kepada orang lain. Dengan sikap seperti itu
persaudaraan dan persatuan yang merupakan masalah pokok (ushûl) dalam Islâm
dapat terus dipelihara dan dijaga.
Kita telah sama-sama menyaksikan
betapa wajah dunia Islâm saat ini
begitu suram dan terbelakang akibat perselisihan yang amat tajam di antara kaum
Muslimîn,
terutama dalam soal-soal semacam ini, dan juga telah menguras energi secara
sia-sia. Sementara kaum kuffâr
bersatu-padu dan semakin menancapkan kekuasaan mereka di negeri-negeri Islâm serta terus menerus membantai kaum Muslimîn dengan kejamnya,
kita pun terus-menerus disibukkan oleh perbedaan pendapat yang sangat
tidak produktif, saling menghujat, menuduh sesama kita. Ini benar-benar
perbuatan tercela dan memalukan.
Marilah kita selesaikan perbedaan
pendapat di antara kita secara arif dan bijaksana, dengan tetap mempertahankan
persatuan dan persaudaraan, saling menghormat dan kasih sayang sesama muslim.
Inilah sikap yang perlu didahulu-kan daripada saling hujat, menuduh, mencela,
menghina dsb.
(Wallâhu A'lam Bish-Shawâb).
Sesuai dengan tema,barangkali ada yang butuh bantuan badal haji .. silahkan hubungi kami langsung dari saudi arabia.
BalasHapushttp://badalhaji-umrah.blogspot.com/
atau di
http://www.kaskus.co.id/thread/5224fe43faca176536000000/jasa-badal-haji-langsung-dari-saudi-arabia--setiap-tahun
Afwan.. Jazakallahu khairan kasira