Tuntunan Agama Islam
Bolehkah Perempuan Bekerja Mencari Nafqah Di Luar Rumah?

Tuntunan Agama Islam - Wanita Karir, itulah yang sering didengung-dengungkan dewasa ini. Zaman sekarang ini sudah menjadi hal yang lumrah,
seorang wanita/perempuan yang bekerja di luar rumah. Namun sebelum kita menjawab
pertanyaan boleh atau tidaknya wanita atau perempuan bekerja di luar rumah, maka
perlu dijelaskan bahwa bekerja mencari nafqah atau rezeki merupakan hal yang
diperintahkan dalam Islâm,
sebagaimana firman Allâh :
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمْ اْلأَرْضَ
ذَلُوْلاً فَامْشُوْا فِي مَنَاكِبِهَا وَ كُلُوْا مِنْ رِزْقِهِ
Artinya
:
"Dia-lah yang menjadikan bumi
itu mudah buat kalian, maka berjalanlah di seluruh penjurunya dan makanlah sebagian
dari rezeki-Nya".
(Surah
Al-Mulk (67):14)
Az-Zamakhsyarî menyebutkan dalam tafsîrnya
yang terkenal yaitu "Al-Kasysyâf",
bahwa yang dimaksud "mudah" (ذَلُوْلاً) dalam ayat ini ialah :
سَهَّلَ لَكُمُ السُّلُوْكَ
فِي جِبَالِهَا
Artinya
:
"Allâh mudahkan buat kalian berjalan
mengarungi pegunungannya".
(Lihat
Al-Kasysyâf juz IV
hal. 585)
Maksudnya; Allâh telah memberi kemudahan bagi manusia untuk
mengarungi bumi termasuk daerah-daerah pegunungannya. Ayat ini lebih jelas lagi
terlihat pada masa sekarang di mana alat-alat transportasi dan komunikasi sudah
sangat maju, sehingga dengan mudah dan waktu yang relatif singkat manusia dapat
menempuh perjalanan dari satu negeri ke negeri yang lain. Dan Al-Imâm Ibnu Katsîr
menjelaskan dalam "Tafsîrnya",
bahwa kata "maka berjalanlah
kalian" (فَامْشُوْا ) dalam ayat ini
maksudnya :
فَسَافِرُوْا حَيْثُ شِئْتُمْ مِنْ أَقْطَارِهَا وَ تَرَدِّدُوْا فِي
أَقَالِمِيْهَا وَ أَرْجَائِهَا فِي أَنْوَاعِ
الْمَكَاسِبِ وَ التِّجَارَاتِ
Artinya
:
"Maka berjalanlah sesuai keinginan
kalian ke seluruh penjuru dunia, dan mondar-mandirlah di seluruh daerah dan
wilayahnya untuk melakukan berbagai macam pekerjaan dan perniagaan".
(Lihat
Tafsîr Ibnu Katsîr juz IV hal. 397)
Berdasarkan keterangan-keterangan
ini, wajiblah bagi kita untuk berusaha atau bekerja dengan sungguh-sungguh atau
"bekerja keras" istilah
orang sekarang mencari nafkah / nafqah untuk mencukupi kebutuhan hidup. Al-Qur-ân juga menjelaskan, bahwa para rasul atau nabi
sekalipun melakukan berbagai macam pekerjaan atau kegiatan ekonomi untuk
mencukupi kebutuhan mereka, sebagaimana firman Allâh:
وَ مَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ
الْمُرْسَلِيْنَ إِلاَّ إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُوْنَ الطَّعَامَ وَ يَمْشُوْنَ فِي
اْلأَسْوَاقِ
Artinya
:
"Dan tidaklah Kami mengutus
para utusan sebelum-mu (Muhammad), kecuali mereka juga memakan makanan dan
berjalan di pasar-pasar".
(Surah
Al-Furqân (25):20)
Ayat ini menegaskan bahwa seluruh
nabi atau utusan adalah manusia-manusia biasa, dan seperti umumnya manusia,
mereka juga makan dan butuh makanan. Oleh karena itu mereka juga melakukan
kegiatan ekonomi, sebagaimana dikatakan oleh Al-Imâm Ibnu Katsîr
dalam Tafsîrnya --
bahwa yang dimaksud dengan "mereka
berjalan di pasar-pasar" ialah :
يَتَرَدَّدُوْنَ فِيْهَا وَ إِلَيْهَا طَلَبًا
لِلتَّكَسُّبِ وَ التِّجَارَةِ
Artinya
:
"Mereka -- para utusan itu --
mondar-mandir di dalam pasar dan dari pasar ke pasar, untuk melakukan usaha
(bisnis) dan berdagang".
(Lihat
Tafsîr Ibnu Katsîr juz III hal. 310)
Pasar adalah tempat berkumpulnya
segala macam manusia dengan berbagai-macam karakter, dan melakukan bisnis atau
berdagang -- di pasar -- berarti
melakukan kontak social secara aktif atau berinteraksi dengan mereka. Itulah
yang dilakukan oleh para nabi. Demikian pula halnya dengan nabi terakhir,
penghulu para utusan, kekasih Allâh;
Muhammad Rasûlullâh saw. Beliau adalah seorang yang juga melakukan
kegiatan usaha di pasar-pasar. Bahkan, melakukan kegiatan usaha di pasar-pasar
adalah salah satu sifat Beliau yang disebutkan dalam kitab "At-Taurât", sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imâm Al-Bukhârî dalam sebuah hadits dari 'Abdullâh bin 'Amer bin Al-Âsh
(radhiyallâhu
'anhuma) yang menyebutkan salah satu sifat Rasûlullâh saw. dalam kitab "At-Taurât", yaitu :
وَ
لاَ سَخَّابٍ فِي اْلأَسْوَاقِ
Artinya
:
"Tidak pernah bertengkar
dengan suara keras di pasar-pasar".
(Lihat
Fathul-Bârî juz IV hal.343)
Jadi, seperti para nabi dan utusan
sebelumnya, Rasûlullâh saw. pun bergaul, melakukan kontak sosial dan
berinteraksi dengan semua jenis manusia baik ketika melakukan kegiatan ekonomi
di dalam maupun di luar pasar.
Adapun kaum wanita, sebagaimana
dinyatakan oleh Dr. Yûsuf
Al-Qardhâwî, tugas mereka yang utama yang tidak diperselisihkan
lagi ialah mendidik generasi-generasi baru. Mereka memang disiapkan oleh Allâh untuk tugas itu, baik secara fisik maupun mental,
dan tugas yang agung ini tidak boleh dilupakan atau diabaikan oleh faktor
material dan kultural apa pun. Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat
menggantikan peran kaum wanita dalam tugas besar ini, yang padanyalah
bergantung masa depan umat, dan dengannya pula terwujud kekayaan yang paling besar, yaitu kekayaan
yang berupa manusia (sumber daya manusia).
Di
antara aktivitas wanita ialah memelihara rumah-tangganya, membahagiakan
suaminya, dan membentuk keluarga bahagia yang tenteram damai, penuh cinta dan
kasih sayang.
Namun demikian, tidak berarti wanita
bekerja di luar rumah itu diharamkan syara'. Karena tidak ada seorang pun yang
dapat mengharamkan sesuatu tanpa adanya nash syara' yang shahîh periwayatannya dan sharîh (jelas) petunjuknya. Bahkan kadang-kadang kaum
wanita dituntut dengan tuntutan sunnah atau bahkan wajib untuk bekerja mencari
nafqah apabila ia membutuhkannya. (Lihat Fatwa-Fatwa Kontemporer jilid II hal.
422)
Terutama sekali kaum wanita yang hidup dalam keadaan serba
kurang di negara-negara miskin seperti Indonesia, sedangkan keluarga, yaitu
orang-tua atau para suami mereka sama-sekali tidak bisa diharapkan untuk
mencukupi kebutuhan atau tuntutan hidup sehari-hari yang terus saja meningkat.
Ditambah lagi dengan situasi negara yang tidak menentu. Kondisi politik dan
ekonomi yang sama-sekali tidak menjanjikan atau memberi harapan bagi
kesejahteraan rakyat, sehingga membuat sebagian kaum wanita Indonesia terpaksa berangkat ke
luar negeri menjadi TKW dalam rangka mencari nafqah dan penghidupan yang layak
di negeri orang. Namun, ada dua hal yang perlu mendapat perhatian dari
saudari-saudari kita yang menjadi TKW. agar pekerjaan mereka mencari nafqah
mempunyai nilai 'ibadah dan mulia di sisi Allâh.:
Pertama:
Tujuan atau motivasi mereka bekerja mencari nafqah harus benar-benar sesuai
dengan syara'. Hal ini ditegaskan Rasûlullâh saw. dalam sabdanya :
مَنْ سَعَى عَلَى وَالِدَيْهِ فَفِي سَبِيْلِ اللَّهِ وَ مَنْ سَعَى عَلَى
عِيَالِهِ فَفِي سَبِيْلِ اللَّهِ وَ مَنْ سَعَى عَلَى نَفْسِهِ لِيَعِفَّهَا
فَهُوَ فِي سَبِيْلِ اللَّهِ وَ مَنْ سَعَى مُكَاثِرًا فَفِي سَبِيْلِ
الطَّاغُوْتِ وَ فِي رِوَايَةٍ فِي سَبِيْلِ الشَّيْطَانِ
Artinya
:
"Barang-siapa yang bekerja --
dengan niyat atau tujuan -- untuk kedua
orang-tuanya, maka ia berada dalam sabîlillâh, dan barang-siapa yang bekerja
untuk keluarganya, maka ia berada dalam sabîlillâh, dan barang-siapa yang bekerja
untuk dirinya, untuk menjaga kehormatan dirinya maka ia berada dalam sabîlillâh. Dan barang-siapa yang bekerja
-- dengan niyat atau tujuan -- menumpuk-numpuk harta, maka ia berada di jalan
yang sesat atau di jalan syaithân".
(Diriwayatkan
oleh Al-Bazzâr, Abû Nu'aim dan Ash-Bahânî. Lihat Al-Ahâditsush-Shahîhah oleh Syaikh Muhammad Nâshirud-Dîn
Al-Albânî jilid V hal. 272 no.: 2232)
Di dalam hadits ini disebutkan
secara tegas tiga motivasi atau tujuan mencari nafqah yang benar, yang sesuai
dengan syara', yaitu :
1. Untuk
membantu orang-tua.
2. Untuk
menghidupi keluarga.
3. Untuk
menjaga kehormatan pribadi yaitu agar tidak meminta-minta pada orang lain.
Dan tidak dibenarkan bagi setiap
muslim atau muslimah bekerja mencari nafqah dengan tujuan menumpuk-numpuk
harta, karena tujuan seperti itu membuat yang orang bersangkutan berada di
dalam kesesatan atau di jalan syaithân,
sebagaimana ditegaskan oleh hadits di atas.
Jadi, seorang muslim atau muslimah wajib memiliki ketiga
motivasi atau salah satu dari tiga motivasi ini ketika ia bekerja mencari
nafqah agar ia berada dalam sabîlillâh, yaitu
kalau dia menemui ajalnya dalam bekerja, ia terhitung sebagai orang yang mati syahid, suatu kematian yang sangat mulia
dalam Islâm.
Kedua:
Jenis pekerjaan hendaknya tidak bertentangan dengan hukum syara'. Artinya,
pekerjaan itu tidak haram atau bisa mendatangkan sesuatu yang haram, seperti
bekerja di bar-bar untuk menghidangkan minuman keras apalagi menjadi penari
yang merangsang hawa-nafsu dll. yang
dilarang oleh Agama. Begitu-pula sebaliknya, jangan sampai pekerjaan itu --
walaupun halal -- menghalanginya dari melakukan kewajiban Agama, seperti
shalat, puasa dsb. Dan ditambah lagi dengan tetap menjaga kesopanan sebagai
wanita muslimah.
(Wallâhu A'lam)
Ok sangat baik artikelnya semoga menjadi pencerahan bagi seluruh Umat Islam. Selama ini llebih banyak bahwa yang wajib bekerja hanya orang laki (Suami saja). Dengan adanya artikel ini yang semoga dibaca oleh mayoritas umat Islam menjadi pedoman bahwa wanitapun sebenarnya juga ada kewajiban bekerja (yang Syar'I) karena memeng ada pos-pos kerja yang justru harus dikerjakan oleh wanita seperi pramedis yang menolong sesama perempuan
BalasHapus